Rabu, 16 November 2011

Belajar dari pohon bambu

Sudah 4 bulan ini saya dilanda masalah dan merasa galau, sedih, kecewa... Bila saya menengok kembali kepada kehidupan saya, di setiap awal kehidupan baru saya, selalu ada ujian untuk dilalui. Ketika awal menikah, ayah meninggal dan kini ibu meninggal. Sekarang pun demikian , saya menghadapi ujian yang kali ini tidak hanya bagi saya sendiri tapi juga ujian bagi seluruh keluarga besar almarhum kedua orangtua saya... Bagaimana kami agar bisa menjadi pribadi yang indah, semua akan ditentukan dari bagaimana saya bisa "menjawab soal" dalam ujian ini. Ini yang akan menaik kelaskan saya agar menjadi pribadi yang indah, baik, benar dan mulia. Lalu suatu hari saya dipertemukan dengan pemikiran bapak yang bijaksana, yang pasti kita kenal, Mario Teguh dan seorang penghayat kehidupan, pelayan sesama dan pertapa Gede Prama. Nasehat dan goresan ungkapan mereka mengarahkan hati saya agar tak menuruti emosi negatif dan mengarahkan saya pada perenungan akan makna di balik segala hal yang terjadi pada hidup saya. Berikut ini tulisan Gede Prama yang mengingatkan saya, bahwa semua ini harus saya lalui bila saya ingin menjadi indah dan baik dalam kehidupan ini :

Nyanyian-nyanyian Bambu
Di suatu waktu, bambu di hutan iri dengan nasib baik seruling. Suaranya dikagumi orang sekaligus mewakili keindahan. Merasakan dalamnya rasa iri bambu, seruling pun mencoba menjelaskan. “Hai bambu”, demikian seruling memulai penjelasan. “Dulunya, saya juga bambu seperti kalian. Sebelum menjadi seruling, kaki saya dipotong golok, badan saya dihaluskan pisau tajam, yang paling menyakitkan dada saya dilobangi”.
Sejujurnya, demikian juga perjalanan manusia-manusia bercahaya. Tidak ada diantara mereka yang perjalanannya hanya lurus mulus. Sebagian nyaris terbunuh (Nelson Mandela), sebagian bahkan benar-benar terbunuh (Mahatma Gandhi, John Lennon). Tidak adilnya, sejumlah orang mengira kehidupan mereka tanpa godaan dan cobaan, tiba-tiba sudah mengagumkan di atas sana.
Inilah yang kemudian dengan mudah membangkitkan rasa iri. Andaikan banyak orang tahu betapa bahayanya jalan-jalan kehidupan   di   atas   sana,   mungkin  sebagian   orang   akan memilih aman nyaman menjadi orang biasa. Namun begitulah ciri utama banyak kehidupan, serupa dengan bahayanya strum listrik, baru percaya setelah pernah kena strum.
Ini yang bisa menjelaskan kenapa nyaris semua anak muda demikian bersemangat dan bertenaga. Sekolah, kursus, mengikuti aktivitas organisasi, mencari bea siswa dan segudang kegiatan bertenaga lainnya. Intinya satu, bila orang bisa kenapa saya tidak. Keyakinan seperti ini juga yang menyebabkan sejumlah motivator mendorong banyak orang agar cepat kaya raya. Anthony Robbin sebagai contoh, memberi judul karyanya dengan Awakening The Giant Within. Membangunkan raksasa yang ada di dalam diri.
Premis orang di jalan ini jelas sekali. Pertama, tidak ada istilah tidak bisa. Kedua, kemampuan di dalam sini tidak terbatas. Makanya disejajarkan dengan raksasa. Ketiga, lebih tinggi kehidupan yang bisa diraih lebih baik. Dan ternyata, bagi mereka yang sudah menua bijaksana akan tersenyum penuh pengertian. Dalam kehidupan, ada yang bisa dicapai, ada yang hanya layak disyukuri. Ada wilayah kehidupan yang bisa digedor dengan kerja dan usaha. Ada wilayah kehidupan yang hanya menjadi milik misteri.
Sampai di tingkatan ini, melarang anak muda berusaha keras tentu bukan pilihan bijaksana. Sebagaimana cemara yang sejuk di gunung, kelapa yang bertumbuh kokoh di pantai, biarkanlah mereka bertumbuh sesuai dengan tingkat kedewasaannya. Namun bagi yang sudah menua, disamping badan sudah berhenti berbau parfum, digantikan oleh bau minyak kayu putih, mungkin ada gunanya mendengarkan nyanyian-nyanyian bambu.
Coba perhatikan bambu dalam-dalam. Ia kuat dan kokoh tanpa  pernah  bisa  dicabut  angin.  Dan alasan utama kenapa bambu kuat karena berakar kuat ke dalam. Ini berbeda dengan sebagian manusia yang hidupnya lemah dan keropos, terutama karena berakar ke luar (pangkat, kekayaan). Ini memberi inspirasi, belajarlah bertumbuh dengan berakar ke dalam. Ke dalam persahabatan dan rasa syukur atas berkah kehidupan.
Kedua, bambu senantiasa segar di segala musim. Ini berbeda dengan kebanyakan manusia yang hanya segar bila punya uang, naik pangkat, dipuji. Dan karena tidak ada kehidupan yang selalu kaya dan bahagia, maka layak direnungkan untuk belajar indah di setiap langkah. Kaya indah karena banyak yang bisa dibantu dengan kekayaan. Miskin juga indah, karena melalui kemiskinan manusia tidak perlu takut kehilangan. Naik pangkat indah karena penuh pujian. Pensiun juga indah. Berlimpah waktu yang tersedia untuk diamalkan.
Nyanyian bambu yang ketiga, setelah tinggi bambu merunduk rendah hati. Siapa saja yang setelah tinggi kemudian tinggi hati, ia sedang menabung untuk keruntuhannya di kemudian hari. Dan puncak cerita bambu, ketika bambu dibelah di dalamnya kosong.
Bila boleh jujur, kenapa banyak kehidupan mudah stres, marah, tersinggung, karena di dalamnya penuh berisi. Dari harga diri, kekayaan, sampai status sosial. Sehingga begitu ada orang yang berperilaku berbeda dari yang diharapkan, godaan untuk marah mudah muncul. Dan bambu mengajarkan, semua yang hebat-hebat yang membuat manusia mudah marah, suatu hari akan berakhir dengan kekosongan.
Uniknya kekosongan, begitu ia muncul secara alamiah akan membawa pelayanan di belakangnya. Ia sesederhana air yang membawa basah, api yang membawa panas. Persis seperti bambu, di dalamnya memang kosong tetapi terus menerus melayani kehidupan dengan berbagi kesegaran di segala musim.


Kutipan nasehat lainnya :
”Sadari saja ketika emosi negatif muncul, tidak usah bereaksi”, begitu nasehat seorang guru meditasi. Begitu  emosi negatif diterangi kesadaran bahwa kita semua ingin bahagia tidak mau menderita, ia memunculkan rasa lapar untuk menyayangi. Terutama karena kasih sayanglah yang membuat manusia berbahagia. Ada yang mengeluh bahwa kemarahan tidak menghilang kendati sudah berdoa. Ini tentu bisa dimaklumi, karena manusia sudah lama sekali dalam kegelapan. Sehingga diperlukan praktek kesadaran yang kuat dan kokoh sekali agar semua  kegelapan  menghilang.  Ia  bisa selesai sepuluh tahun, dua puluh tahun atau malah lebih. Bukan lamanya yang penting, namun sudah masuk ke dalam arus kesadaran, itu pun sudah layak disyukuri.


Perhatikan apa yang ditulis Ezra Bayda dalam At Home In The Muddy Water: “May we exist like a lotus. At home in the muddy water. Thus we bow to life as it is”.  Guru-guru dengan latihan mendalam juga mengalami naik-turun (sehat-sakit, dipuji-dicaci dst), namun apa pun yang terjadi dalam kehidupan tidak tersentuh. Persis seperti bunga Padma. Di air tapi tidak basah, di lumpur namun tidak kotor. Sebaliknya malah bertumbuh dan mekar di lumpur. Ini yang membuat mereka bisa membungkuk hormat kepada kehidupan apa adanya.
Kebahagiaan memang menawan, tetapi ia tidak mengajarkan apa-apa. Kesedihan memang menakutkan, tetap teramat banyak manusia yang bercahaya hidupnya karena melewati segunung kesedihan.

Mario Teguh :

Pak Mario, kapan semua masalah saya ini selesai? Adik saya yang baik hatinya, Ijinkanlah saya mengingatkan dengan yang telah saya sampaikan sebelumnya ... "Rencana Tuhan selalu berakhir dengan kebaikan." Mohon Anda mengulanginya bersama saya: "Rencana Tuhan selalu berakhir dengan kebaikan." Sehingga, Jika yang sedang Anda alami sekarang belum baik, berarti itu bukan akhir. Jika keadaan Anda sekarang masih sulit, menggalaukan, dan penuh sakit hati, berarti itu belum selesai. Bertahanlah. Teruslah berupaya. "Rencana Tuhan selalu berakhir dengan kebaikan." Mario Teguh

Terima kasih Pak Gede.... Terima kasih Pak Mario....

Jumat, 04 November 2011

Air Terjun Tirtosari Sarangan

Selendang bidadari yang tersembunyi di balik perbukitan

Puas berkeliling telaga, jepret sana jepret sini, mejeng-mejeng dikit di tepiannya. Akhirnya saya kembali ke penginapan untuk mandi ( sebenernya sih malu karena papasan dengan ibu-ibu yang sudah wangi dan cantik, karena saya belum mandi he…he….he… ) habisnya pagi tadi gak berani mandi…. Airnya itu lhooo dingiiiin… banget buat kulit orang Nganjuk kayak saya yang terbiasa dengan udara hangat.

Agak siang sedikit saya putuskan menuntaskan rasa penasaran saya akan papan penunjuk jalan ke air terjun Tertosari Ngadiloyo di ujung barat daya telaga Sarangan, wah…. Naluri saya bilang pasti dia cukup menarik buat dikunjungi. Saya kompori teman menginap saya agar mau ke air terjun itu meski kata bapak penjaga loket, lokasinya jauh dan jalannya agak sulit ( sekitar 45 menit perjalanan ), hal itu justru membuat saya makin penasaran. Akhirnya setelah menimbang waktu dan fisik kami putuskan untuk datang ke air terjun itu, biar hemat energi dari pintu masuk retribusi ke tepi desa terdekat dengan air terjun kami putuskan naik bang Jack eh..ojek maksudnya, taripnya 10 ribu nganter thok, pulangnya gampang kata bang ojeknya karena di sana juga banyak ojek atau kuda. Selain ojek sebenarnya ada juga kuda tapi karena teman saya takut naik kuda maka kami naik ojek ajah…

Sampai di desa menuju air terjun kami celingukan sambil mencari-cari mana air terjunnya? Apa kita nyasar ya? Sebelum lanjut kami harus bayar retribusi Rp 2000/ orang. Ealahhhh… ternyata kami masih harus jalan kaki membelah areal kebun sayur sambil tengak tengok macam orang udik baru ke kota. Lalu ada bapak-bapak mengejar kami, sambil ngos-ngosan si bapak tanya ke kami : mau ke air terjun to? Monggo saya antarkan, sebagai uang lelahnya ya seikhlasnya saja, gitu katanya. Ya sudah daripada kesasar kami manut saja, itung-itung buat teman di perjalanan karena kami berdua cewek semua.

Si bapak memandu kami sambil cerita kalau air terjunnya bagus, cuma jalannya agak jauh dan “sedikit” nanjak-nanjak katanya. Ah gak masalah pikir kami karena kami kan masih muda nanjak dikit masih okelah…. ( aih sombongnya….), setelah naik turun dan berbelok-belok kira-kira setelah 4 belokan melewati kebun sayur yang menghijau kami menyeberangi jembatan beton dan tiba di pos kecil, di sini kami bayar retribusi Rp 1000/orang. Jujur sebenarnya kami sudah capek berjalan, kaki rasanya panas dan mulai nyut-nyutan tapi kami tidak mau menyerah, kata si bapak tinggal separuh perjalanan kok, rugi juga kan kalau gak diteruskan.

Dan kami pun terus berjalan…. Bagaikan putri pelarian dari kerajaan gak jelas mencari persembunyian, aduuuhhh mana sih kok gak sampai-sampai? Kata bapaknya tinggal sedikit lagi cuma jalannya menanjak terus, ha…? Menanjak? Ya ampyuuunn kaki udah pegel kok masih suruh nanjak, ya udah deh gak pa pa, daripada rugi wong udah niat kok.
Ya Alloh Gusti…. Ternyata nanjaknya di jalan setapak berbatu itu begitu dahsyatnya buat saya ( padahal saya ini tukang fitnes, renang and so on…. Weleh-weleh pamernya :D ). Sampe mau putus rasanya napas, teman saya malah sambil didorong sama bapak pemandunya karena gak kuat nanjak macam truk kelebihan muatan.

Kami sempat 2 kali berhenti ambil napas di ujung 2 tanjakan terberat, saya sempat kagum dengan ibu-ibu paro baya yang sanggup bolak-balik sambil menggendong sekeranjang minuman botol. Hebat…! Andaikan saya gak harus konsentrasi ke jalan di depan saya, pasti sudah saya jeprat-jepret tuh jalannya, byuh..byuh… meleng dikit aja bisa glundung ampe ke titik start lagi. Setelah nanjak terus , belok tajam, belok lagi  nanjaknya masih terus ini ceritanya, kami melihat dari kejauhan air terjunnya kelihatan putih bagaikan selendang bidadari. Alhamdulillah kata saya….sudah dekat, eh ternyata belum masih ada beberapa tanjakan yang harus ditaklukkan. Baiklah… melihat air terjun itu dari kejauhan memompa semangat kami, di perjalanan kami juga berpapasan dengan rombongan kecil yang mau turun, sepertinya hari ini tidak terlalu banyak orang yang datang ke sini.

Akhirnya sampailah kami di tujuan : Air terjun Tertosari Ngadiloyo, wah…wah…. Indahnya! Gak rugi kita ke sini ! Teriak kami. Paradiso Trans7 harus meliput kesini!. Setelah cuci kaki dan muka ajaibnya seluruh penat di badan rasanya menguap hilang. Wiihhhh airnya dingin sueger, andaikan saya gak pas “dapet” saya pasti mandi di kolam di bawah guyuran airnya. Wong dalamnya juga cuma sedengkul. Habis itu mejeng-mejeng narsis memamerkan perjuangan kami. Ini dia beberapa foto-fotonya….!


Pemandangan menuju air terjun begitu indah.... bikin lupa sama kaki yang cenath-cenuth




Ngaso dulu ahhh.....Sambil mejeng bentar....


Ini baru separo jalan buuu.......!? Monggooo di lanjut....


Hutannya masih lumayan hijau.....


Nah itu lhooo... air terjunnya udah kelihatan...
kuecil banget karena masih agak jauh.
Masih ada "perjuangan berat" yang harus dilewati untuk mencapainya....


Alhamdulillah ya...... udah nyampek.....




Kolam tepat di bawah air terjun


Airnya....... sueger lhoo.....


Aneh tapi nyata! Waktu yang kami butuhkan untuk pulang ternyata hanya kurang dari separuh perjalanan kami pergi ke air terjun. Berangkatnya 1 jam-an, pulangnya cuma 20 menit-an, andaikan kami tidak khawatir ke siangan sampai ke hotel , mungkin kami tidak akan naik ojek tapi lenggang kangkung ajah.....
Jadi rincian biaya kami ke air terjun Tirtosari kira-kira :
1. Tiket masuk Rp 7.500/ org
2. Ojek Rp 10.000/org
3. Retribusi pertama Rp 2.000/org
4. Retribusi kedua Rp 1.000/org
5. Pemandu Rp 20.000 kami bagi dua
6. Jasa foto langsung jadi ada yang Rp 12.000 dan Rp 10.000 / lembar
( yang ini sebenarnya gak perlu kalo bawa kamera sendiri, cuma kami gak enak sama ibu tukang fotonya karena udah ngikutin kami sejak dari bawah, jadi minta difoto dan cetak langsung dikit-dikit).
7. Ojek pulang sampe depan hotel Rp 15.000/org.

See you in the next trip yah.... Maunya sih ke Bromo githu.... Moga aja kesampaian. Aamiiinnn....